Senin, 25 Februari 2013
Sejarah Perkembangan Kurikulum di Indonesia
Sejarah kurikulum pendidikan di
Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian Menteri Pendidikan, sehingga mutu
pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang jelas dan
mantap. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan
nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968,
1975, 1984, 1994, 2004, dan 2006. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan
iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai
seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan
tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional
dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945,
perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam
merealisasikannya.
1. Rencana Pelajaran 1947
Awal kurikulum terbentuk pada
tahun 1947, yang diberi nama Rencana Pembelajaran 1947. Kurikulum ini pada saat
itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh Belanda karena pada saat itu
masih dalam proses perjuangan merebut kemerdekaan. Yang menjadi ciri utam
kurikulum ini adalah lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia yang
berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain.Kurikulum pertama yang lahir pada masa
kemerdekaan memakai istilah leer plan. Dalam bahasa Belanda, artinya rencana
pelajaran, lebih popular ketimbang curriculum (bahasa Inggris). Perubahan
kisi-kisi pendidikan lebih bersifat politis: dari orientasi pendidikan Belanda
ke kepentingan nasional. Asas pendidikan ditetapkan Pancasila.
Rencana Pelajaran 1947 baru
dilaksanakan sekolah-sekolah pada 1950. Sejumlah kalangan menyebut sejarah
perkembangan kurikulum diawali dari Kurikulum 1950. Bentuknya memuat dua hal
pokok: daftar mata pelajaran dan jam pengajarannya, plus garis-garis besar
pengajaran. Rencana Pelajaran 1947 mengurangi pendidikan pikiran. Yang
diutamakan pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat, materi
pelajaran dihubungkan dengan kejadian sehari-hari, perhatian terhadap kesenian
dan pendidikan jasmani. Setelah rencana pembelajaran 1947, pada tahun 1952
kurikulum Indonesia mengalami penyempurnaan. Dengan berganti nama menjadi Rentjana
Pelajaran Terurai 1952.Yang menjadi ciri dalam kurikulum ini adalah setiap
pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari.
2. Rencana Pelajaran Terurai
1952
Kurikulum ini lebih merinci
setiap mata pelajaran yang disebut Rencana Pelajaran Terurai 1952. “Silabus
mata pelajarannya jelas sekali. seorang guru mengajar satu mata pelajaran,”
kata Djauzak Ahmad, Direktur Pendidikan Dasar Depdiknas periode 1991-1995.
Ketika itu, di usia 16 tahun Djauzak adalah guru SD Tambelan dan Tanjung
Pinang, Riau.
Di penghujung era Presiden
Soekarno, muncul Rencana Pendidikan 1964 atau Kurikulum 1964. Fokusnya pada
pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Pancawardhana). Mata
pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keprigelan (keterampilan), dan jasmaniah. Pendidikan dasar
lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional prak tis.Usai tahun
1952, menjelang tahun 1964 pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum
pendidikan di indonesia. Kali ini diberi nama dengan Rentjana Pendidikan 1964.
Yang menjadi ciri dari kurikulum ini pembelajaran dipusatkan pada program
pancawardhana yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional, kerigelan dan
jasmani.
3. Kurikulum 1968
Usai tahun 1952, menjelang tahun
1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia. Kali ini
diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang
menjadi ciri dari kurikulum ini adalah: bahwa pemerintah mempunyai keinginan
agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD,
sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004),
yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan
jasmani.
Kurikulum 1968 merupakan
pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur
kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila,
pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan
dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Dari segi tujuan pendidikan,
Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk
manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi
pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan,
serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat
politis: mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde
Lama. Tujuannya pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968
menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Jumlah pelajarannya 9.
Djauzak menyebut Kurikulum 1968
sebagai kurikulum bulat. “Hanya memuat mata pelajaran pokok-pokok saja,”
katanya. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tak mengaitkan dengan
permasalahan faktual di lapangan. Titik beratnya pada materi apa saja yang
tepat diberikan kepada siswa di setiap jenjang pendidikan.
4. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti
kurikulum 1968 menekankan pada tujuan,Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan,
agar pendidikan lebih efisien dan efektif. “Yang melatarbelakangi adalah
pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu MBO (management by objective) yang
terkenal saat itu,” kata Drs. Mudjito, Ak, MSi, Direktur Pembinaan TK dan SD
Depdiknas.
Metode, materi, dan tujuan
pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
Zaman ini dikenal istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap
satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci lagi: petunjuk umum, tujuan
instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan
belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum 1975 banyak dikritik. Guru sibuk
menulis rincian apa yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.
5. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process
skill approach. Meski mengutamakan pendekatan proses, tapi faktor tujuan tetap
penting. Kurikulum ini juga sering disebut “Kurikulum 1975 yang disempurnakan”.
Posisi siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Dari mengamati sesuatu,
mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara
Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL).
Tokoh penting dibalik lahirnya
Kurikulum 1984 adalah Profesor Dr. Conny R. Semiawan, Kepala Pusat Kurikulum
Depdiknas periode 1980-1986 yang juga Rektor IKIP Jakarta — sekarang
Universitas Negeri Jakarta — periode 1984-1992. Konsep CBSA yang elok secara
teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami
banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional. Sayangnya, banyak
sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di
ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan
yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Penolakan CBSA
bermunculan.
6. Kurikulum 1994 dan
Suplemen Kurikulum 1999
Kurikulum 1994 bergulir lebih
pada upaya memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya. “Jiwanya ingin
mengkombinasikan antara Kurikulum 1975 dan Kurikulum 1984, antara pendekatan
proses,” kata Mudjito menjelaskan.
Sayang, perpaduan tujuan dan
proses belum berhasil. Kritik bertebaran, lantaran beban belajar siswa dinilai
terlalu berat. Dari muatan nasional hingga lokal. Materi muatan lokal
disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah
kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan
kelompok-kelompok masyarakat juga mendesakkan agar isu-isu tertentu masuk dalam
kurikulum. Walhasil,menjelma menjadi kurikulum super padat.Kejatuhan rezim
Soeharto pada 1998,diikuti kehadiran suplemen Kurikulum 1999.Tapi perubahannya
lebih pada menambah sejumlah materi. Kurikulum 1994 dibuat sebagai
penyempurnaan kurikulum 1984 dan dilaksanakan sesuai dengan undang-undang no. 2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini berdampak pada sistem
pembagian waktu pelajaran, yaitu dengan mengubah dari sistem semester ke sistem
caturwulan. Dengan sistem caturwulan yang pembagiannya dalam satu tahun menjadi
tiga tahap diharapkan dapat memberi kesempatan bagi siswa untuk dapat menerima
materi pelajaran cukup banyak.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol
dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya sebagai berikut:
·
Pembagian tahapan pelajaran di
sekolah dengan sistem catur wulan.
·
Pembelajaran di sekolah lebih
menekankan materi pelajaran yang cukup padat (berorientasi kepada materi
pelajaran/isi).
·
Kurikulum 1994 bersifat populis,
yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh
Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga daerah yang khusus
dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan
masyarakat sekitar.
·
Dalam pelaksanaan kegiatan, guru
hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam
belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru
dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen
(terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban) dan penyelidikan.
·
Dalam pengajaran suatu mata
pelajaran hendaknya disesuaikan dengan kekhasan konsep/pokok bahasan dan
perkembangan berpikir siswa, sehingga diharapkan akan terdapat keserasian
antara pengajaran yang menekankan pada pemahaman konsep dan pengajaran yang
menekankan keterampilan menyelesaikan soal dan pemecahan masalah.
·
Pengajaran dari hal yang konkrit
ke ha yang abstrak, dari hal yang mudah ke hal yang sulit dan dari hal yang
sederhana ke hal yang kompleks.
·
Pengulangan-pengulangan materi
yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan pemahaman.
Selama dilaksanakannya kurikulum
1994 muncul beberapa permasalahan, terutama sebagai akibat dari kecenderungan
kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented), di antaranya sebagai
berikut :
·
Beban belajar siswa terlalu berat
karena banyaknya mata pelajaran dan banyaknya materi/ substansi setiap mata
pelajaran.
·
Materi pelajaran dianggap terlalu
sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa, dan
kurang bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.
Permasalahan di atas saat
berlangsungnya pelaksanaan kurikulum 1994. Hal ini mendorong para pembuat
kebijakan untuk menyempurnakan kurikulum tersebut. Salah satu upaya
penyempurnaan itu diberlakukannya suplemen kurikulum 1994. Penyempurnaan
tersebut dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip penyempurnaan
kurikulum, yaitu:
Penyempurnaan kurikulum secara
terus menerus sebagai upaya menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan kebutuhan masyarakat.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan
untuk mendapatkan proporsi yang tepat antara tujuan yang ingin dicapai dengan
beban belajar, potensi siswa, dan keadaan lingkungan serta sarana pendukungnya.
Penyempurnaan kurikulum dilakukan
untuk memperoleh kebenaran substansi materi pelajaran dan kesesuaian dengan
tingkat perkembangan siswa.
Penyempurnaan kurikulum
mempertimbangkan brbagai aspek terkait, seperti tujuan materi pembelajaran,
evaluasi dan sarana-prasarana termasuk buku pelajaran.
Penyempurnaan kurikulum tidak
mempersulit guru dalam mengimplementasikannya dan tetap dapat menggunakan buku
pelajaran dan sarana prasarana pendidikan lainnya yang tersedia di sekolah.
Penyempurnaan kurikulum 1994 di
pendidikan dasar dan menengah dilaksanakan bertahap, yaitu tahap penyempurnaan
jangka pendek dan penyempurnaan jangka panjang.
Implementasi pendidikan di
sekolah mengacu pada seperangkat kurikulum. Salah satu bentuk invovasi yang
dikembangkan pemerintah guna meningkatkan mutu pendidikan adalah melakukan
inovasi di bidang kurikulum. Kurikulum 1994 disempurnakan lagi sebagai respon
terhadap perubahan struktural dalam pemerintahan dari sentralistik menjadi
disentralistik sebagai konsekuensi logis dilaksanakannya UU No. 22 dan 25
tentang otonomi daerah.
Pada era ini kurikulum yang
dikembangkan diberi nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK adalah
seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang
harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah (Depdiknas, 2002).
Kurikulum ini menitik beratkan pada pengembangan kemampuan melakukan (kompetensi)
tugas-tugas dengan standar performasi tertentu, sehingga hasilnya dapat
dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap serangkat kompetensi
tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, kemampuan,
nilai, sikap dan minat peserta didik, agar dapat melakukan sesuatu dalam bentuk
kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab.
Adapun karakteristik KBK menurut
Depdiknas (2002) adalah sebagai berikut:
·
Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupu klasikal.
·
Berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman.
·
Penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·
Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
·
Penilaian menekankan pada proses
dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
7. Kurikulum 2004
Bahasa kerennya Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK). Setiap pelajaran diurai berdasar kompetensi apakah
yang mesti dicapai siswa. Sayangnya, kerancuan muncul bila dikaitkan dengan
alat ukur kompetensi siswa, yakni ujian. Ujian akhir sekolah maupun nasional
masih berupa soal pilihan ganda. Bila target kompetensi yang ingin dicapai,
evaluasinya tentu lebih banyak pada praktik atau soal uraian yang mampu
mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa.
Meski baru diujicobakan, toh di
sejumlah sekolah kota-kota di Pulau Jawa, dan kota besar di luar Pulau Jawa
telah menerapkan KBK. Hasilnya tak memuaskan. Guru-guru pun tak paham betul apa
sebenarnya kompetensi yang diinginkan pembuat kurikulum.
Kurikulum ini dikatakan sebagai
perbaikan dari KBK yang diberi nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
KTSP ini merupakan bentuk implementasi dari UU No. 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional yang dijabarkan ke dalam sejumlah peraturan antara lain
Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan.
Peraturan Pemerintah ini memberikan arahan tentang perlunya disusun dan
dilaksanakan delapan standar nasional pendidikan, yaitu: (1)standar isi,
(2)standar proses, (3)standar kompetensi lulusan, (4)standar pendidik dan
tenaga kependidikan, (5)standar sarana dan prasarana, (6)standar pengelolaan,
standar pembiayaan, dan (7)standar penilaian pendidikan.
Kurikulum dipahami sebagai
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran
serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu, maka dengan terbitnya Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005, pemerintah telah menggiring pelaku pendidikan
untuk mengimplementasikan kurikulum dalam bentuk kurikulum tingkat satuan
pendidikan, yaitu kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
setiap satuan pendidikan.
Secara substansial, pemberlakuan
(baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada
mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi,
esensi isi dan arah pengembangan pembelajarantetap masih bercirikan tercapainya
paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter),
yaitu:
·
Menekankan pada ketercapaian
kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·
Berorientasi pada hasil belajar
(learning outcomes) dan keberagaman.
·
Penyampaian dalam pembelajaran
menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·
Sumber belajar bukan hanya guru,
tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
·
Penilaian menekankan pada proses
dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
Terdapat perbedaan mendasar
dibandingkan dengan KBK tahun 2004 dengan KBK tahun 2006 (versi KTSP), bahwa
sekolah diberi kewenangan penuh dalam menyusun rencana pendidikannya dengan
mengacu pada standar-standar yang ditetapkan, mulai dari tujuan, visi-misi,
struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan hingga
pengembangan silabusnya.
8. KTSP 2006
Awal 2006 ujicoba KBK dihentikan.
Muncullah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelajaran KTSP masih tersendat.
Tinjauan dari segi isi dan proses pencapaian target kompetensi pelajaran oleh
siswa hingga teknis evaluasi tidaklah banyak perbedaan dengan Kurikulum 2004.
Perbedaan yang paling menonjol adalah guru lebih diberikan kebebasan untuk
merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta
kondisi sekolah berada. Hal ini disebabkan karangka dasar (KD), standar
kompetensi lulusan (SKL), standar kompetensi dan kompetensi dasar (SKKD) setiap
mata pelajaran untuk setiap satuan pendidikan telah ditetapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional. Jadi pengambangan perangkat pembelajaran, seperti silabus
dan sistem penilaian merupakan kewenangan satuan pendidikan (sekolah) dibawah
koordinasi dan supervisi pemerintah Kabupaten/Kota. (TIAR)
Kurikulum
yang terbaru adalah kurikulum 2006 KTSP yang merupakan perkembangan dari
kurikulum 2004 KBK. Kurikulum 2006 yang digunakan pada saat ini merupakan
kurikulum yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk menyelenggarakan
pendidikan yang puncaknya tugas itu akan diemban oleh masing masing pengampu
mata pelajaran yaitu guru. Sehingga seorang guru disini menurut Okvina (2009)
benar-benar digerakkan menjadi manusia yang professional yang menuntuk
kereatifitasan seorang guru. Kurikulum yang kita pakai sekarang ini masih
banyak kekurangan di samping kelebihan yang ada. Kekurangannya tidak lain
adalah (1) kurangnya sumber manusia yang potensial dalam menjabarkan KTSP
dengan kata lin masih rendahnya kualitas seorang guru, karena dalam KTSP
seorang guru dituntut untuk lebihh kreatif dalam menjalankan pendidikan. (2)
kurangnya sarana dan prasarana yang dimillki oleh sekolah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar